Kamis, 27 Maret 2014

Princess Rain & Mister Guitar by J.L

Heyaaaa~
Lama tak jumpa :* Kangen posting something inih :|
Oke, aku akan posting cerpenku. ROMANCE! Perhatian teman-teman, ini ROMANCE!!!
Yuk, check this out :D

Hujan turun dengan derasnya hari ini. Dedaunan basah tampak anggun ditiup angin dingin. Seorang gadis berseragam SMA berjalan dengan santainya di bawah rinai hujan, tanpa payung. Ia tampak menikmati setiap tetes air hujan yang menerpa wajah dan tubuhnya. Gadis itu adalah Dara, seorang siswi kelas XI-IPS1 SMA 1 Kertajaya. Ia berjalan riang di bawah tetes air hujan yang jatuh ke bumi.
Dia memang menyukai hujan. Baginya, hujan itu suatu hal yang paling indah yang pernah ia lihat. Dia suka saat kulitnya merasakan dinginnya tetes-tetes air hujan, dia juga menyukai saat-saat pelangi yang selalu berpendar setelah hujan sudah usai.  Ia bergegas menuju taman bermain yang ada di kompleksnya. Taman itu cukup sepi, tentu saja karena hujan. Dara berjalan cepat menuju ayunan yang ada di taman itu dan duduk di sana.

“Aku bersyukur hari ini hujan, habisnya panas banget sih tadi,” kata Dara sambil menaruh tasnya yang tertutup jas hujan khusus tas di tanah. Ia mengayunkan ayunan itu pelan. “Boleh duduk sini?” tanya seseorang. Dara menoleh ke sumber suara itu. Ternyata, di sana berdiri seorang laki-laki yang cukup tinggi dan berkacamata. Tubuhnya basah kuyup dan rambutnya berantakan. Dara hanya mengangguk, lalu kembali mengacuhkan laki-laki itu. Tentu saja karena nasihat bundanya, “Jangan bicara pada orang asing.” Dara terus memainkan ayunannya dalam diam, sementara laki-laki di sampingnya memperhatikannya lekat-lekat. Melihat pandangan laki-laki itu, wajah Dara bersemu merah. “E-ehm, aku Andara Juniarta, panggil aku Dara. Kamu?” tanyanya pelan. Laki-laki itu tersenyum dan mengulurkan tangannya, “Prayogi Saputra Indrawarman, bisa dipanggil Yogi.” Dara tersenyum kecil dan menjabat tangan Yogi. Lalu, keheningan kembali menyekap mereka. Dara tetap memainkan ayunannya, sedangkan Yogi terus memandang langit yang gelap. “Kamu baru pulang sekolah?” tanya Yogi kalem. Dara menoleh dan mengangguk. “Tadi ada rapat OSIS soalnya, jadi pulang telat. Kalau kamu mau ke mana? kok bawa gitar?” tanya Dara, yang berusaha terdengar ramah, sambil menunjuk tas untuk gitar yang dibawa Yogi. Yogi tersenyum simpul, “Tadinya sih mau latihan band, tapi dibatalin karena hujan. Ya udah aku pulang. Eh, hujannya udah berhenti.” Yogi menunjuk langit yang sedikit demi sedikit mulai terang kembali. Pelangi pun muncul dengan warna-warnanya yang rupawan. “Kamu mau pulang sekarang?” tanya Dara, tersirat nada kecewa di kata-katanya. Yogi menggeleng, “Aku masih ingin di sini. Di rumah nggak ada siapa-siapa. Kamu mau dengerin lagu yang aku ciptain?” tanya Yogi ramah. Dara mengangguk, dan Yogi mengeluarkan gitarnya. “Judulnya apa?” tanya Dara saat Yogi memetik senar gitarnya. “Princess Rain, ceritanya tentang seorang cowok yang suka sama seorang gadis yang suka banget sama hujan. Dan saat hujan itulah ia mulai mencintai gadis itu.”

“You stand under the rain, with smile on your face. It’s like you enjoy every raindrops touch your face. And I just can see you from there, Just see your sweet smile. And my heart beats fast. Yeah you, It’s you. You are the one I love.Yeah you, it’s you. You’re the Princess Rain who I loved.” Dara terperangah, ia kagum dengan lagu ciptaan Yogi. “Gimana? Bagus?” tanya Yogi. Dara mengangguk, “Keren kok. Itu kamu yang nyiptain? Hebat ya,” puji Dara. Yogi tersenyum dan mengangguk.
“Dara!” teriak seorang wanita dari gerbang taman. Dara menoleh, ternyata itu Asa, kakaknya. “Ya, kak! Aku pulang!” ujar Dara sambil membawa tasnya. “Aku pulang dulu ya, daripada Kak Asa marah-marah nanti. Sampai ketemu lagi,” kata Dara pada Yogi sambil berlari menuju kakaknya. Yogi mengangguk dan melambaikan tangannya pada Dara. Dara pun tersenyum dan melambaikan tangannya pada Yogi. “Pacarmu ya, dik? Keren ya,” goda Asa. Wajah Dara memerah lagi, lalu ia menggeleng, “E-eh? Bu-bukan kok! Ih, kak Asa ada-ada aja deh.”

“Kak! Buku catatan puisiku kakak taruh mana?!” ujar Dara saat ia selesai mandi dan akan menulis puisi. Asa memang meminjam buku Dara, untuk bahan untuk menyelesaikan bukunya. Asa adalah seorang penulis, ia sekarang sedang menyelesaikan buku kumcernya. “Oh, ini Ra. Maaf, kakak lupa. Hehehe,” kata Asa yang berdiri di depan pintu kamar Dara sambil tertawa kecil. Dara menyambar buku itu tanpa mengucapkan terima kasih dan mengurung diri di kamar.
‘Aku berdiri di bawah hujan. Dengan senyum terkembang, kunikmati setiap tetes air hujan yang menyentuh wajahku. Di ayunan aku merenung. Apa awan tak lelah membawa banyak air seperti tiu? Atau ia justru menikmatinya? Lalu, kau datang. Tubuhmu basah kuyup dan rambutmu yang basah menutupi mata kirimu. Kau duduk di sebelahku, entah apa yang kau pikirkan saat itu. kau terus memperhatikanku, tanpa kusadari semburat merah menjalar di pipiku. Aku pun mencoba berkenalan denganmu.’Dia sangat ramah,’ batinku saat melihatmu tersenyum setiap kau berbicara. Kau menyanyikan lagu ciptaanmu dengan gitarmu. Aku terkesima, kau begitu piawai memainkan jari-jarimu pada senar gitar itu. Princess Rain, itu judul lagu yang kau nyanyikan. Aku terkesan. Dan kurasa aku mulai mengagumimu.’ Tulis Dara. “Dara, makan dulu, nak! Kamu belum makan siang kan?” ujar bunda Dara dari lantai bawah. Dara pun menutup bukunya dan turun untuk makan siang.
“Dara! Kakak pinjam bukunya lagi ya. Kamu ada puisi baru kan?” tanya Asa yang duduk di samping tempat tidur Dara, sementara Dara tengkurap di kasurnya dan membuka laptopnya untuk melanjutkan ceritanya. “Iya. Emang cerita kakak belum selesai ya?” tanya Dara tanpa mengalihkan pandangannya dari layar laptopnya. Asa mengangguk lemas, “Kurang 1 cerpen lagi biar pas 14, kan kakak rencana mau terbitin buku itu waktu Valentine. Ya udah, kakak ubah dari10 cerpen jadi 14 cerpen. Kakak udah buat 3 tadi, terus kurang satu. Mungkin aja kakak bisa dapet inspirasi dari kamu. Makasih ya,” kata Asa sambil menyambar buku Dara dan kabur. Dara hanya bisa geleng-geleng kepala melihat kelakuan kakaknya. Ia kembali memandang layar laptop dan menyelesaikan kalimat akhir dari bab yang sedang dikerjakannya.  “Eh, ini quotesnya apa ya?” gumam Dara. Lalu, terbersit suatu kalimat. Akhirnya, ia mengetikkan beberapa kata.

“Cinta tak akan pernah salah, dan segala sesuatu yang diperjuangkan atas nama cinta tak akan pernah sia-sia,” eja Dara. Seketika, senyumnya mengembang.
Keesokan paginya, Dara berangkat ke sekolah pukul setengah enam pagi, karena para inti OSIS SMA 1 Kertajaya akan mengadakan rapat berkenaan dengan acara konser amal yang akan diselenggarakan oleh sekolah mereka. Saat berjalan, ia merasa namanya dipanggil oleh seseorang, “Dara! Hei, Dara!”. Dara pun berbalik, ia mendapati Yogi sedang mengayuh sepedanya ke arah Dara lalu berhenti di sebelah Dara dan tersenyum. “Pagi,” sapanya sambil tersenyum. Dara balas tersenyum dan berkata, “Pagi juga. Kok berangkat pagi banget? Kamu sekolah di mana sih?”. Yogi menunjukkan dasinya. Di sana ada 3 buah strip putih dan lambang SMA 1 Dirgantara. Dara pun mengangguk-angguk mengerti, lalu Yogi berkata, “Mau aku anter? Searah kan?”. Semburat merah menjalar di pipi Dara. “Eh? Nggak usah, aku bisa jalan sendiri kok,” kata Dara pelan. “Beneran? Ya sudah, mungkin lain kali.” Tiba-tiba, Yogi turun dari sepedanya dan menuntunnya. “Loh, kamu duluan aja nggak apa-apa,” ujar Dara. Yogi menggeleng dan tersenyum, “Nggak etis, ngebiarin perempuan jalan sementara laki-laki naik kendaraan.” Wajah Dara semakin memerah. Ternyata Yogi adalah laki-laki yang sangat perhatian dan ramah. Dan itu membuat Dara semakin kagum padanya.

“Sudah sampai, aku masuk dulu ya. Makasih udah nemenin aku jalan,” ujar Dara tulus sambil tersenyum pada Yogi. Yogi mengangguk dan mengacungkan jempolnya, lalu mengayuh sepedanya ke sekolahnya. “Cie, gebetan baru,” ujar seseorang sambil mencubit pipi Dara. “Ih, Karin! Sakit tahu, apa-apaan sih?” protes Dara pada Karin, sahabatnya. Karin terkikik, “Ceilah, yang punya gebetan baru. Siapa namanya? Anak Dirgantara ya?” tanya Karin sambil memperhatikan Yogi yang semakin menajuh. “Itu bukan gebetan, hanya teman saja. Namanya Yogi, anak Dirgantara kelas 3,” jawab Dara kesal. Lalu mereka pun berjalan ke dalam. “Yogi? Prayogi Saputra Indrawarman? Yang anak band itu? Yang jago main gitar itu?” tanya Karin kaget. Dara mengangguk enteng, “Emang kenapa? Kok kayaknya kamu tahu banget soal dia?”. Karin berhenti dan mencengkeram kerah jaket Dara, “Masa kamu nggak tahu sih? Dia itu anak band paling keren! Nama bandnya itu Painkiller, dia pegang gitar, kadang pegang bass juga. Gimana ceritanya kamu bisa kenal dia?!”. Dara hanya mengedikkan bahu lalu berlari masuk ke ruang OSIS.

“Ra! Kamu hari ini ada acara?” tanya Adit, sang ketua kelas sambil merapikan mejanya, karena bel istirahat. Dara mengedikkan bahunya, “Mungkin nggak ada. Ada apa?” tanya Dara penasaran. “Jalan yuk. Mau nggak?” tawar Adit. Namun, Dara menggeleng dan menjawabnya dengan penuh sesal, “Maaf, tapi aku nggak bisa. Aku harus bantuin kakakku nyusun cerpennya.” Dara pun berlalu, meninggalkan Adit yang terperangah.
“Rin, aku duluan!” ujar Dara sambil berlari keluar sekolah. Saat ia berjalan sendiri di gerbang kompleksnya, tiba-tiba seseorang menepuk bahunya. Ternyata dia adalah Yogi. Yogi tampak berkeringat, dan dia sedang menuntun sepedanya, menyejajarkan langkahnya dengan Dara. “Ke taman lagi yuk? Bentar lagi hujan nih,” ajak Yogi ramah. Dara mengangguk, lalu Yogi berkata, “Aku bonceng aja ya?”. Karena tak kuasa menolak ajakan ramah Yogi, ia pun mengangguk dan duduk di boncengan sepeda Yogi. “Udah? Okee!!” mereka pun meluncur menuju taman bermain.
Saat mereka sampai, mereka pun langsung duduk di ayunan. Tiba-tiba, langit menjadi gelap dan hujan mulai turun. Dara pun tersenyum gembira, “Yaayy, hujaann!!” ujarnya kekanak-kanakan. Yogi hanya tersenyum melihat tingkah Dara. Tiba-tiba, Dara berubah murung. Ia pun berkata, “Gi, wajar nggak sih kalau perempuan nyatain perasaan ke cowok?”. Yogi memandang Dara agak cemas, “Kenapa emangnya? Kamu suka sama seseorang? Cerita dong, kita kan temen.” Dara menggeleng lalu diam. “Dia istimewa. Dia ramah, respect, bisa dibilang dia keren. Dia pernah nyanyiin lagu dia di dekatku, dan itulah yang buat aku suka sama dia. Tapi, aku nggak berani ngomong ke dia. Karena aku tahu, dia bakal nolak aku, dan aku nggak mau itu terjadi. Dan aku benar-benar muak dengan diriku sendiri,” air mata Dara perlahan menetes, namun Yogi tak akan menyadari itu, karena air mata perih itu tersamarkan oleh tetes air hujan. Yogi merasa sedikit sesak, “Jadi, selama ini kamu suka sama aku?” tanya Yogi penuh penyesalan. Dara diam sejenak, lalu menyeka air matanya. Yogi berdiri dan mendekati Dara, “Ma-maaf. A-aku hanya nganggep kamu sebagai tem—“ “Cukup, Gi. Aku udah tahu kalau nantinya akan kejadian kayak gini. Makasih buat semuanya, aku rasa aku emang harus ngelupain kamu. Selamat tinggal,” tukas Dara sembari bangkit dan beranjak pergi. Sudah cukup luka yang ia rasakan. Ia sudah muak dengan dirinya sendiri. Dirinya sendiri yang ingin meninggalkan Yogi dan menanggalkan perasaannya pada Yogi, namun hatinya berkata lain. Ia pun kembali ke rumah dengan mata sembab.

Hari-hari berikutnya, Dara masih dalam keadaan galau. Entah karena ia belum bisa melupakan Yogi atau kenapa. Karin, sahabatnya, pun khawatir dengan keadaan sahabatnya. Sementara, Yogi sedang mesra-mesranya dengan kekasih barunya. Ia tak sedikitpun memikirkan hancurnya perasaan Dara lagi. Baginya, yang penting baginya sekarang adalah kekasihnya.
Hingga sebulan setelah kejadian di taman itu, Dara memutuskan untuk melupakan Yogi dan memulai lembaran yang baru. Di sisi lain, Yogi melihat kekasihnya sedang berduaan dengan laki-laki yang merupakan rivalnya. Hati Yogi hancur, lalu ia memutuskan untuk mengakhiri hubungannya dengan gadis itu. Saat berjalan pulang, ia melewati taman bermain yang dulu pernah dikunjunginya bersama Dara. Ia pun memarkir sepedanya dan merenung di ayunan, seperti yang dulu ia lakukan bersama Dara. Dalam hatinya, ia merasa menyesal telah menyia-nyiakan Dara. Yogi pun mengambil gitarnya dan memeluk gitar itu. “Aku bodoh! Aku bodoh! Apa aku begitu bodoh sehingga aku menyia-nyiakan orang sangat sayang padaku?!” pekiknya.

“Mungkin memang ku cinta, mungkin memang ku sesali. Pernah tak hiraukan rasamu, dulu. Aku hanya ingkari kata hatiku saja. Tapi mengapa, cinta datang terlambat,” lirih Yogi sambil memetik senar gitarnya. “Aku menyesal, Dara! Aku menyesal telah menyia-nyiakanmu! Andara Juniarta!” rintihnya. Tanpa terasa, air mata penyesalannya mulai turun. “ANDARA JUNIARTA! AKU MENCINTAIMU! AKU INGIN KAU KEMBALI!” seru Yogi penuh penyesalan. Tanpa ia sadari, Dara sedang berada di dekat taman itu saat Yogi menyerukan kata-kata itu. Tanpa ia sadari, ia juga mulai meneteskan air matanya dan berjalan pelan mendekati Yogi.

“Apa itu benar? Yang kau serukan barusan?” tanya Dara pelan, dan itu membuat Yogi agak sedikit kaget. Namun, Yogi bangkit dan memeluk erat Dara. “Maaf.. maaf. Aku tahu kamu takkan bisa memaafkanku, tapi tolong jangan lupakan aku,” sesal Yogi. Dara terkejut namun ia berkata, “Cinta akan selalu memaafkan.” Dan itu membuat Yogi semakin mengeratkan pelukannya. Langit berubah mendung, lalu hujan kembali turun.

“Akhirnya aku bertemu dengan Princess Rain,” ujar Yogi. Hujan semakin lama menjadi semakin deras. Dara pun tersenyum dan berkata pelan, “Dan aku menemukan Mister Guitar yang selama ini selalu kuimpikan.” Yogi membalas senyuman Dara, “Aku mencintaimu. I love you. Je t’aime, aishiteru, saranghae—“ “Aku tidak butuh semua kata cintamu, aku hanya ingin kau selalu di sisiku dan mengerti keadaanku. Aku juga mencintaimu,” ujar Dara. Dan seiring berjalannya waktu, awan-awan berhenti menangis dan pelangi mulai menunjukkan spektrum warnanya yang indah.
Cinta tak akan pernah salah, dan segala sesuatu yang diperjuangkan atas nama cinta tak akan pernah sia-sia.

-The End-


Huah, copas selesai :p Ini no editing karena gue lg males ngedit :D
Hope you like it, guys :D

Oke, silahkan komentar di bawah soal cerita ini. Tunggu cerita berikutnya yaaa~
Jaaaa~~~